Jumat, 19 Desember 2014

"Komplikasi"

Sebuah ayat pengantar …. 
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada
 (QS. Al-Hajj :46)

                                                                          “Komplikasi”


“Tanah air adalah sebuah proyek yang kita tempuh bersama-sama, kau dan aku. Sebuah kemungkinan yang menyisngsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa focus. Tanah air adalah sebuah ruang masa kini yang kita arungi, karena ada harapan untuk kita kelak”(Goenawan Mohammad)

Kata Panji, masyarakat Indonesia itu bila ditawari antara uang atau pendidikan, kebanyakan akan memilih uang karena kebutuhan mendesak mereka itu uang.
Pembeli : “Bang beras 5 kilo berapa harganya Bang?
Penjual : “Tergantung..”
Pembeli : “Tergantung apa bang?”
Penjual : “Siapa Bapak Pendidikan di Indonesia?”
Bukankah ilustrasi diatas suatu hal yang mustahil?? Tentu membeli dengan uang bukan dengan Pendidikan. Masyarakat memang lebih mudah memahami dengan hal-hal yang bersifat kongrit dan langsung seperti uang, bukan dengan pendidikan. Namun yang tak masyarakat pahami bahwa dengan pendidikan seseorang dapat menghasilkan uang yang lebih dari pada harga 5 kilo beras atau bahkan berapapun uang yang ditawarkan. Bukankah begitu kawan?

Suatu ketika di senin pagi yang cerah, seperti biasa saya mengantar adik ke sekolah. Di perjalanan, saya melihat si alif kecil tengah berjualan Koran di lampu merah. Bukan hanya karena saya membutuhkan koran itu lalu saya tertarik untuk membeli, namun ini masalah nurani. Seandainya waktu lampu merah itu lebih lama saya ingin menanyakan banyak hal mengapa ia tak sekolah? Seandainya  waktu itu saya tidak harus bergegas ke kampus, saya ingin mengajari atau memberikan dukungan padanya untuk bersekolah. Seandainya saya punya banyak uang, saya ingin membeli semua korannya dan mengantarkannya ke sekolah. Pemandangan seperti itu tak hanya  1 atau 2. Ada jutaan alif kecil di negeri ini yang membutuhkan tangan-tangan dermawan untuk membantunya

Setiap hari saya melaju dari rumah ke kampus selama kurang lebih 20 menit. Di perjalanan, saya sering mengamati perubahan-perubahan di sekitar. Paling suka saya melihat pemandangan sawah. Saya memang orang desa, namun pemandangan yang paling disukai dari dulu sampai sekarang tetap sama, Sawah. Dan kini, sawah-sawah semakin lama semakin habis diganti oleh pemandangan beton-beton raksasa. Kompleks perumahan mewah milik para pejabat Negara dan perumahan toko yang mematikan perekonomian pasar masyarakat kecil. Mungkin memang menanam beton lebih cepat menghasilkan uang daripada menanam padi. Namun bukankah mereka bisa menanam beton karena makan padi??. Bukankah padi adalah kebutuhan primer masyarakat? Bagaimana hal yang primer dihancurkan oleh hal sekunder? Kenapa pemerintah tak memperhatikan sawah-sawahku??… Kudengar, Indonesia Impor Beras…*Ironis.

Padahal seingatku waktu SD pelajaran IPA mengatakan Indonesia adalah negara Agraris dan Maritim. Padahal seingatku waktu SMP pelajaran Geografi mengatakan Indonesia dilewati garis khatulistiwa. Padahal katanya Indonesia Negara paling kaya SDA-nya sampai-sampai sebuah lagu didendangkan “Bukan lautan, hanya kolam susu… kail dan jala cukup menghidupimu…, tiada topan tiada badai kau temui… ikan dan udang menghampiri dirimu. orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah surga. Kail dan jala cukup menghidupimu..” benarkah semua itu??

Suatu ketika saya mendengar kabar dari tetangga, oh ternyata teman semasa kecil saya dulu tengah hamil. Namun, tak tau siapa ayahnya. Tetangga saya yang lain juga, tengah dicari-cari keluarganya karena telah berbulan-bulan tak pulang. Kabarnya tengah bekerja sebagai pelayan laki-laki hidung belang. Awalnya saya tak percaya, namun beberapa hari kemudian saya sering berpas-pasan dengan mereka tengah mengenakan pakaian sangat seksi dan berdandan menor. Beberapa bulan kemudian saya melihat keduanya berboncengan, dengan menggendong seorang bayi.  Astaghfirullohal’adzim. Selanjutnya saya benar-benar mendapatkan cerita dari keluarganya sendiri. Padahal mereka teman-teman semasa kecil saya. Analisis yang paling bisa diketahui secara kasat mata, karena masalah ekonomi dan salah gaul. Bagaimana perasaanmu kawan bila melihat kenyataan pahit ada di depan mata kepalamu sendiri??

Sewaktu SMA saya mengikuti kegiatan KRR (Kesehatan Reprosuksi Remaja). Dalam beberapa waktu saya mengikuti event KRR se-Jogja. Betapa tertegun dan terkejutnya saya saat itu, melihat kenyataan daerah sendiri tengah terjangkit penyakit kritis “Krisis moral”. Narkoba, HIV/ Aids, Seks bebas. Bahkan bukan hanya dengan lain jenis, namun sesama jenis. Na’udzubillah.

Di sisi lain saya mendengar saat hari peduli HIV/Aids sedunia kemarin, di sebuah universitas  disarankan untuk memakai kondom, bahkan ada acara bagi-bagi alat itu secara Cuma-Cuma. Hei! seharusnya disarankan untuk melakukan dengan orang yang halal baginya, bukan tentang memakai alat pengaman itu? Bukankah awal kehancuran kaum nabi Luth dan kota pompei yang ditenggelamkan namun jasad dan kotanya masih abadi itu karena kebebasan dalam melakukan hubungan seks dan dengan hubungan sesama jenisnya??

Saya termasuk orang yang kagum pada kerukunan di Negara ini. Bhineka tunggal ika. Bila dibandingkan dengan Israel dan palestina, ataupun yang lainnya seharusnya kita bersyukur. Namun akhir-akhir ini saya meragukannya,, dalam sebuah artikel DW Indonesia disebutkan bahwa Konflik agama di seluruh dunia mencapai tingkat tertinggi dalam enam tahun terakhir, demikian hasil studi terbaru. Indonesia termasuk negara yg paling menderita akibat konflik agama
Kemarin saya mendengar ada pertikaian sengit antar golongan. Sampai-sampai jenazah seseorang tak dikuburkan akibat dari pertikaian itu. Apakah hanya karena perbedaan kemudian menghiraukan sisi kemanusiaan?. Di belahan tetangga lain, ada seorang ahli agama. Ia sering mengaji kesana kemari, pakaiannya syar’I luar biasa, namun ia tak pernah ikut ngurus masjid, apalagi TPA. Boro-boro berdakwah, menyapa tetangga saja jarang-jarang. Saya sering heran, se-individualis itukah?? Di belahan daerah lainnya pertikaian adu mulut sampai membuat ricuh antar desa karena perbedaan paham agama.
Terdengar ada pujian dari seorang menlu Italia, Franco Frattini  mengatakan “Indonesia bagaikan ‘Laboratorium antar Umat Beragama’ ”. Benarkah pujian itu??


Bagaimana dengan kita??
Kita dihadapkan pada kompleksitas permasalahan yang sama. Mulai dari ekonomi, social, moral, pendidikan, politik, budaya, agama, Negara. Hanya perhatian dan pengalaman hidup yang berbeda membuat pandangan yang tak sama. Namun sejatinya kita sama. Bahwa sama-sama berusaha untuk memecahkan segala permasalahan menuju sebuah kesejahteraan hidup bersama. Namun sayang, kita yang juga sama mendambakan kedamaian tak selalu berdamai pada diri dan orang lain untuk membuat jalan damai dalam memecahkan permasalahan. Bukan karena tak inginkan kedamaian, namun lebih tepatnya karena sifat ego dan nafsu diri yang tak terkendali membuat lupa akan nurani sehingga menjadi tak murni lagi.
“Lihat kawan..negara lain sudah menginjak Bulan! Bagaimana dengan Negara kita? Kenapa masih memperdebatkan untuk ‘mengintip  bulan’?!” 

Betapa “berat”nya beras, Betapa Kritisnya penyakit “Krisis Moral”,, Betapa..Oh Betapa… negeri ini telah terjangkit penyakit “Komplikasi” yang akut. Namun, apa yang telah kita lakukan??
Beruntung kawan,, kita berada pada sebuah pergerakan yang mendukung penuh untuk terus maju dan turut memajukan Negeri dengan membawa konsep islam sebagai Rahmatanlil’alamin. Saya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar ini, intelektual culture yang dibangun begitu keren. Diskusi, membaca buku dan mejelis-majelis ilmu. Kapan lagi kita akan merasakan iklim ilmu seperti itu,, selain di IMM? Kawan,, bagi kalian yang masih berkecimpung disana, manfaatkanlah waktumu sebaik mungkin untuk menggali dan terus menggali apa yang ingin diketahui. Karena pada akhirnya agenda kita adalah sama, tentang membuat solusi di tengah “gila”nya zaman.  Tentang memperbaiki penyakit  “Komplikasi”nya negeri ini mulai dari hal-hal terkecil yang bisa kita lakukan.

Apabila kamu mengatakan, kita harus ber”Fastabiqulkhairat” berlomba-lombalah dalam kebaikan,, “kebaikan” menurut siapa? Menurut kita sebagai sesama manusia atau menurut Dia Sang pencipta??.  Apakah jalan yang tengah kita tempuh sudah sesuai dengan cara menurut keridhoan-Nya sehingga layak disebut sebagai Shiraatalmustaqin?? 
Apabila kamu mengatakan kita harus “Menggapai kebahagiaan dunia akherat” . Namun adakah bahagia kita juga bahagia mereka saudara-saudari kita se-iman sehingga bahagia kita layak dipertanggungjawabkan di-hadapan-Nya untuk membawa bahagia pula di akherat??

So,, abadi perjuangan! Apabila telah menimang “demisioner” sejatinya perjuangan yang lebih nyata ada dihadapan. Kata pak Ahmad Dahlan “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

“Proses adalah kenikmatan yang luar biasa ketika kita mampu bersyukur dengan jalan yang harus di tempuh, menapaki jejak-jejak mimpi bahagia tanpa batas”
“Jangan membunuh keingintahuan. Jangan membunuh rasa rindu. Karena dengan tau dan rindu, Kamu akan mengerti. Bagaimana kamu memanfaatkan waktumu. Dan inilah aku,, yang selalu merindukan-NYA”
“Keniscayaan ilmu berada pada jiwa-jiwa yang berteduh pada naungan Sang Maha Ilmu”
  (anja-pena)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar